Wednesday, March 14, 2012

Bintang Putih Membuat Pulau Bawean Terkenal

Beberapa pekerja tampak memotongi batu di bukit-bukti cadas Pulau Bawean. Dengan memakai linggis dan gergaji, tonjolan bukit cadas yang menghias Bawean itu sedikit demi sedikit terkepras.   

Bongkahan batu besar hasil potongan kemudian diangkut truk ke pengusaha batu onyx setempat. Penggalian batu onyx ini memang jadi dilema. Dari sisi ekonomi, batu-batu itu bernilai tinggi setelah diolah. Tapi di sisi lain kondisi gunung batu yang bertonjolan di Pulau Bawean pun rusak.

Di pulau ini ada beberapa pengolah batu onyx. Dua di antaranya di Desa Patar Selamat (H Abdurrahman) dan di Desa Sungai Teluk (Arifin). Keduanya berada di Kecamatan Sangkapura. 

M. Nur Ikhsan mewakili H Abdurrahman menjelaskan, banyak investor mancanegara yang mengajak kerja sama dengan pihaknya karena tertarik dengan batu onyx Bawean.

Salah satunya, investor asal negara Taiwan. “Kami mulai join dengan investor asal Taiwan itu tahun 2005 lalu, dan berjalan selama setahun. Kami mengirim batu onyx setengah jadi ke Taiwan,” kata dia.

Tahun 2006 Nur Ikhsan mengetahui harga jual onyx ternyata jauh lebih mahal dibandingkan harga belinya di Bawean. “Untung mereka sangat banyak, karena batu kita dihargai terlalu murah. Karena itu kami meminta kerja sama itu dihentikan,” kata Ikhsan.

Menariknya, kata pria 31 tahun itu, investor dari Taiwan itu langsung mengacungkan jempol ketika melihat batu onyx jenis bintang putih. “Ini baru batu yang bagus,” kata Ikhsan menirukan tanggapan investor asing itu saat pertama kali melihat contoh bintang putih. “Jika dibandingkan batu onyx di daerah lain, batu onyx Bawean terbaik,” tegas Iksan kembali.

Dia menjelaskan, ada tiga tambang batu onyx di Bawean, yaitu di Desa Sungai Teluk dan Desa Sawahmulya, Kec. Sangkapura, serta di Desa Kepuh Legundi, Kec. Tambak. Batu onyx di Sungai Teluk dan Sawahmulya sering dikenal dengan nama batu bintang sedangkan di Kepuh Legundi disebut dengan nama bintang putih. Batu onyx bintang putih inilah yang dianggap kualitasnya terbaik, lebih bening, mengkilap dan warnanya putih, berbeda dengan di daerah lain yang agak kecoklatan dan kusam.

Jenis kedua, batu bintang, banyak terdapat di Dusun Rujing. Batu ini memiliki corak dengan garis-garis atau urat kecoklatan. Meskipun tidak seindah bintang putih, batu bintang masih lebih indah dibandingkan batu onyx dari daerah lain. Sedangkan persamaannya, keduanya sama-sama bening bisa tembus cahaya mirip seperti sifat kaca.

Harga batu onyx bintang putih lebih mahal daripada bintang batu. Kap lampu ukuran standar dari batu bintang harganya hanya Rp 85 ribu, sedang yang menggunakan onyx bintang putih harganya mencapai Rp 125 ribu. “Untuk satu model barang saja selisihnya hingga Rp 45 ribu,” tandasnya.

Selain investor asal Taiwan, jelas Ikhsan, beberapa waktu lalu ada investor mancanegara lain yang juga tertarik dengan batu onyx Bawean. Investor dari Australia itu juga memiliki usaha barang unik di Jogja. Berbeda dengan investor asal Taiwan yang tertarik dengan batu onyx bintang putih, investor asal negeri kanguru ini justru tertarik dengan batu bintang yang berwarna kecoklatan itu.

“Menurut investor itu, batu bintang ini tampak lebih alami dibanding batu bintang putih. Saat itu mereka mengambil sampel batu bintang kecil-kecil yang sudah menjadi hasil kerajinan. Saat ini kami masih menunggu kabar dari mereka bagaimana kelanjutannya,” ujarnya.

Dijelaskan Ikhsan, selain mengolah batu onyx menjadi bahan baku setengah jadi, usaha yang dimiliki mertuanya itu juga mengolah menjadi barang jadi, tapi berupa kerajinan sederhana seperti meja, kursi, kap lampu, keramik untuk tembok dan lantai, asbak, dan kerajinan lain yang tidak rumit.

“Di sini, model jadi kerajinan yang kami olah terbatas, karena alat dan kemampuan pengrajin di sini juga terbatas. Untuk mengolah menjadi kerajinan itu awalnya kami mendatangkan empat pengrajin dari Tulungagung,” kata Ikhsan.

Orang Bawean sendiri, menurutnya, belum ada yang mumpuni mengolah batu onyx menjadi kerajinan. Mereka lebih memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia atau Singapura daripada menjadi pengrajin batu onyx.

“Ketika ada pesanan yang terbilang susah, seperti patung kuda, naga, kumpulan ikan, ayam atau lainnya, kami tidak mampu. Tapi untuk menyiasatinya, kami mendatangkan hasil jadinya dari Tulungagung. Sebenarnya lucu, barang asli Bawean, kemudian dikirim ke Tulungagung, tapi kemudian dibawa kembali ke Bawean lantaran skill dan alat kami terbatas,” jelas Ikhsan.

Selain kekurangan tenaga terampil, industri onyx di Bawean juga terkendala pasokan listrik. Jika listrik di Bawean bisa menyala 24 jam nonstop, mereka pasti beralih menggunakan tenaga listrik dan meninggalkan tenaga diesel.

“Setiap dua setengah hari, diesel pemotong saya menghabiskan 100 liter solar, sedangkan harga solar Rp 5.000 per liter. Coba bayangkan berapa biaya untuk solar yang harus saya keluarkan dalam sebulan. Jika listrik di sini sudah menyala 24 jam penuh, saya pasti beralih menggunakan tenaga listrik karena bisa menghemat Rp 5 jutaan per bulannya untuk bahan bakar saja,” 

==============

Butuh Tenaga Pengolah Batu

Batu onyx Bawean berkualitas tinggi. Kijing makam mantan presiden RI kedua, Soeharto dan istrinya juga terbuat dari onyx asal Bawean. Sayangnya, Bawean baru sekadar produsen bahan mentah, belum bisa mengolah. Terbatasnya tenaga yang memiliki skill pengolahan onyx menjadi kendala besar.

Padahal, keberadaan tenaga pengolah diakui Arifin sangat membantu peningkatan kesejahteraan. “Di Tulungagung, sebelum ada suplai bahan baku dari Bawean, kondisi perekonomian tiap-tiap pengrajin rata-rata kelas menengah ke bawah. Coba lihat sekarang, rumah mereka mentereng-mentereng. Apalagi Bawean, jika memiliki pengrajian ahli yang banyak, hasilnya pasti mentereng,” tandas pengrajin onyx dari Desa Sungai Teluk ini.

Menurut Arifin, mengirim kerajinan jadi risikonya lebih besar. Sebab, menurut Arifin transportasi melalui laut saat ini belum memadai kapalnya, sehingga rawan pecah atau rusak saat dikirim ke luar Bawean.

Selain itu, senada dengan Ikhsan, untuk menproduksi batu onyx menjadi kerajinan jadi Arifin susah mencari tenaga ahli. Untuk memotong batu onyx dari bongkahan menjadi barang setengah jadi saja tahun 2003 lalu dia mendatangkan tenaga dari Tulungagung. Bahkan, saat ini kuli tambang batu onyxnya masih harus mencari ke Tulungagung.

“Tapi, mulai tahun 2004 lalu tenaga pemotong batu onyx menjadi bahan setengah jadi sudah ada dari Bawean, mereka belajar dari orang Tulungagung yang dulu saya panggil itu. Saat ini tenaga pemotong asli Bawean ada tujuh orang, sedangkan kuli tambangnya sembilan orang, semuanya dari Tulungagung,” katanya.

Arifin menilai, usaha batu onyx ini sangat menjanjikan, terlebih kualitas batu onyx di Bawean terbaik. Limbah sisa pemotongan saat pengolahan menjadi bahan baku setengah jadi pun menjadi rebutan pembeli, bisa digunakan untuk lantai atau dinding. 

Berbicara masalah keuntungan, Ikhsan membeberkan ketika pesanan lancar, per bulan dia bisa meraup pendapatan bersih Rp 16-18 juta dari penjualan bahan baku setengah jadi. 

Selain mengolah bahan baku setengah jadi dan menghasilkan kerajinan, terkadang dia juga mendapatkan order pemasangan dinding atau lantai batu onyx. 

Arifin sendiri pernah menggarap rumah milik H Jufri di Batam dan H Sujai di Tanjungpinang. Biaya pemasangan beserta tenaga ahli pemasangnya mencapai ratusan juta rupiah

No comments:

Post a Comment