Pulau Bawean sering disebut Pulau Putri atau Pulau Bidadari, karena banyak laki-laki muda yang merantau ke Pulau Jawa atau bahkan ke luar negeri.
Mereka yang bekerja di luar negeri, terutama ke Malaysia dan Singapura, membentuk perkampungan komunitas yang biasa disebut orang Boyan.
Secara geografis, Bawean adalah sebuah pulau di Laut Jawa yang terletak 81 mil atau 150 km utara Pulau Jawa. Pulau ini dihuni lebih dari 100.000 jiwa atau sekitar 65.000 orang yang ber KTP. Mereka tersebar di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sangkapura dan Tambak. Kebanyakan warganya bekerja sebagai TKI, sebagian lagi menjadi nelayan atau petani.
Selama ini, satu-satunya sarana menuju pulau itu adalah kapal laut. Ada dua jenis kapal yang melayari rute tersebut, yaitu KMP Ekspres Bahari 8-B dengan waktu tempuh tiga jam. Satunya lagi, KM Dharma Kartika yang menempuh waktu sembilan jam.
Kedua kapal itu, tidak akan berlayar bila ombak mencapai lima meter. Biasanya, pada bulan Agustus hingga Oktober, cuaca sangat ekstrim sehingga pelayaran biasanya ditunda.
Etnis mayoritas penduduk Bawean adalah Suku Bawean, Suku Jawa, Madura, Bugis dan Mandailing.
Kata Bawean berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti ada sinar matahari. Menurut legenda, sekitar tahun 1350, sekelompok pelaut dari Kerajaan Majapahit terjebak badai di Laut Jawa dan akhirnya terdampar di Pulau Bawean pada saat matahari terbit.
Awal abad ke-16, agama Islam masuk ke Bawean yang dibawa oleh Maulana Umar Mas’ud. Makamnya di pantai Selatan Kecamatan Sangkapura. Sedang di pantai utara, tepatnya di atas dataran tinggi Sumber Desa Diponggo ada makam ulama wanita penyebar Islam, Waliyah Zainab.
Bawean memiliki pariwisata yang cukup menawan, terutama pantainya. Ada juga danau di tengah-tengah pulau bernama Danau Kastoba.
Satwa khas Bawean adalah rusa (axis kuhli). Selain itu, juga terdapat batu onyx. Sejenis batu marmer, yang biasa dijadikan sebagai hiasan dan juga lantai.
Wednesday, March 14, 2012
Desa Balikterus Bawean Hidup dari Gula Aren
Desa Balikterus Kec. Sangkapura Kab. Gresik diekanl sebagai penghasil gula aren. Hampir semua penduduknya bekerja membuat gula aren. Pekerjaan itu sudah turun temurun dari jeluarga.
Warga desa laki-laki maupun perempuan, setiap pagi dan sore masuk hutan untuk mengambil bambu berisi nira dan memasangnya lagi di tangkai buah aren yang telah dipotong. Hutan desa banyak tumbuhan aren kemudian disadap niranya yang oleh warga setempat disebut la’ang.
Adenan (52) warga setempat hari itu amat trampil memanjat pohon aren untuk mengambil bumbung yang berisi nira. “Setiap pagi dan sore kami selalu memasang dan mengambil bumbung di pohon aren. Untuk satu buah tangkai buah aren ini bisa diambil la’ang-nya hingga dua bulan, sedangkan sekali ambil, satu tangkai buah aren ini bisa menghasilkan lima liter,” kata pria yang sudah penuh keriput di raut mukanya itu.
Menurut Adenan, nira yang diambil dari tangkai buah aren yang baru dipotong sangat bagus kualitasnya dijadikan gula aren. ”Warnanya merah bersih, tapi jika nira diambil dari tangkai buah aren yang sudah lama dipotong, hasil gulanya agak gelap,” kata Adenan. Selain itu, dia menambahkan, nira aren di dari pegunungan di Desa Balikterus ini sangat segar untuk diminum langsug, apalagi bila dicampur dengan es.
”Rasanya sangat segar, biasanya pada saat bulan puasa, orang Bawean banyak yang membeli nira untuk dinikmati ketika makan buka, dipercaya la’ang juga bisa meningkatkan stamina dan kejantanan lelaki,” jelasnya.
Sepulang dari mengambil nira aren di hutan, Adenan langsung menuju rumah sore itu. Dan sesampainya di rumah sederhananya, Masriyah (40), istrinya, membawa bumbung berisi nira ke dapur untuk dimasak.
”La’ang dipanaskan di wajan selama beberapa jam hingga kental berwarna kemerahan. Setelah itu, la’ang dicetak di potongan bambu berdiameter empat centimeter,” papar Masriyah.
Kemudian dibiarkan hingga mengeras. Setelah mengeras, gula aren dilepas dari cetakannya dan dibungkus daun pisang. Per bungkus isinya sepuluh biji. Harga satu bungkus gula aren saat ini Rp 13 ribu hingga Rp 15 ribu. Satu bungkus gula aren berisi sepuluh biji itu dibutuhkan nira dua liter. Dia menjelaskan, gula aren ini mampu bertahan lama, bisa berbulan-bulan asalkan disimpan di tempat yang hangat biar tidak meleleh.
Hampir semua penduduk yang tinggal di Balikterus, berjumlah hingga ratusan kepala keluarga memanfaatkan gula aren sebagai penghasil pendapatan utama. Mereka menjual gula aren ke pasar-pasar. Tapi seringkali, turis asing atau perantau yang bekerja di Malaysia dan Singapura pulang membawa gula aren untuk dijual di negeri jiran itu.
”Di Malaysia biasanya gula aren Bawean ini dicampur dengan kelapa muda. Jadi pesanan akan meningkat pada saat musim libur atau hari-hari Lebaran, bahkan saking banyaknya pesanan, kita kekurangan barang,” imbuh Masriyah.
Tak ayal jika pada saat pesanan ramai, warga Balikterus kehabisan stok. Meskipun jumlah keluarga yang memproduksi gula aren ini ratusan, cara mereka mengolah masih tradisional, jadi tidak mumpuni untuk memproduksi gula aren dalam jumlah massal.
Sebenarnya, penghasil gula aren di Bawean tidak hanya di Desa Balikterus di beberapa daerah lainnya juga terkenal dengan produksi gula arennya, tapi penghasil gula aren dengan kualitas terbaik di Bawean adalah di Balikterus.
Desa yang berjarak lima kilometer dari kecamatan Sangkapura itu berada di daerah datarang tinggi. Pegunungan Balikterus sangat lebat dengan tanaman aren. Jadi, bahan baku gula aren di Balikterus sangat berlimpah, karena itu kualitas gula aren Balikterus terbaik.
Warga desa laki-laki maupun perempuan, setiap pagi dan sore masuk hutan untuk mengambil bambu berisi nira dan memasangnya lagi di tangkai buah aren yang telah dipotong. Hutan desa banyak tumbuhan aren kemudian disadap niranya yang oleh warga setempat disebut la’ang.
Adenan (52) warga setempat hari itu amat trampil memanjat pohon aren untuk mengambil bumbung yang berisi nira. “Setiap pagi dan sore kami selalu memasang dan mengambil bumbung di pohon aren. Untuk satu buah tangkai buah aren ini bisa diambil la’ang-nya hingga dua bulan, sedangkan sekali ambil, satu tangkai buah aren ini bisa menghasilkan lima liter,” kata pria yang sudah penuh keriput di raut mukanya itu.
Menurut Adenan, nira yang diambil dari tangkai buah aren yang baru dipotong sangat bagus kualitasnya dijadikan gula aren. ”Warnanya merah bersih, tapi jika nira diambil dari tangkai buah aren yang sudah lama dipotong, hasil gulanya agak gelap,” kata Adenan. Selain itu, dia menambahkan, nira aren di dari pegunungan di Desa Balikterus ini sangat segar untuk diminum langsug, apalagi bila dicampur dengan es.
”Rasanya sangat segar, biasanya pada saat bulan puasa, orang Bawean banyak yang membeli nira untuk dinikmati ketika makan buka, dipercaya la’ang juga bisa meningkatkan stamina dan kejantanan lelaki,” jelasnya.
Sepulang dari mengambil nira aren di hutan, Adenan langsung menuju rumah sore itu. Dan sesampainya di rumah sederhananya, Masriyah (40), istrinya, membawa bumbung berisi nira ke dapur untuk dimasak.
”La’ang dipanaskan di wajan selama beberapa jam hingga kental berwarna kemerahan. Setelah itu, la’ang dicetak di potongan bambu berdiameter empat centimeter,” papar Masriyah.
Kemudian dibiarkan hingga mengeras. Setelah mengeras, gula aren dilepas dari cetakannya dan dibungkus daun pisang. Per bungkus isinya sepuluh biji. Harga satu bungkus gula aren saat ini Rp 13 ribu hingga Rp 15 ribu. Satu bungkus gula aren berisi sepuluh biji itu dibutuhkan nira dua liter. Dia menjelaskan, gula aren ini mampu bertahan lama, bisa berbulan-bulan asalkan disimpan di tempat yang hangat biar tidak meleleh.
Hampir semua penduduk yang tinggal di Balikterus, berjumlah hingga ratusan kepala keluarga memanfaatkan gula aren sebagai penghasil pendapatan utama. Mereka menjual gula aren ke pasar-pasar. Tapi seringkali, turis asing atau perantau yang bekerja di Malaysia dan Singapura pulang membawa gula aren untuk dijual di negeri jiran itu.
”Di Malaysia biasanya gula aren Bawean ini dicampur dengan kelapa muda. Jadi pesanan akan meningkat pada saat musim libur atau hari-hari Lebaran, bahkan saking banyaknya pesanan, kita kekurangan barang,” imbuh Masriyah.
Tak ayal jika pada saat pesanan ramai, warga Balikterus kehabisan stok. Meskipun jumlah keluarga yang memproduksi gula aren ini ratusan, cara mereka mengolah masih tradisional, jadi tidak mumpuni untuk memproduksi gula aren dalam jumlah massal.
Sebenarnya, penghasil gula aren di Bawean tidak hanya di Desa Balikterus di beberapa daerah lainnya juga terkenal dengan produksi gula arennya, tapi penghasil gula aren dengan kualitas terbaik di Bawean adalah di Balikterus.
Desa yang berjarak lima kilometer dari kecamatan Sangkapura itu berada di daerah datarang tinggi. Pegunungan Balikterus sangat lebat dengan tanaman aren. Jadi, bahan baku gula aren di Balikterus sangat berlimpah, karena itu kualitas gula aren Balikterus terbaik.
Wisata ke Jherat Lanjheng (Kuburan Panjang)
Di dusun Tanjung anyar ( orang Bawean menyebutnya Tinggen) desa Lebak terdapat makam panjang, kira- kira panjang makam 11-12 meter.
Konon itu adalah tempat pusaka Aji Saka yang dikubur bersama darah Doro. Aji Saka adalah seorang Penyebar agama Hindu di Pulau Jawa (Javadwipa) yang berasal dari Kerajaan Asoka di India. Dia adalah salah satu pangeran dari kerajaan Asoka yang merantau ke Jawadwipa bersama dua orang pembatunya yang bernama Doro dan Sembodo.
Sebelum masuk ke Pulau Jawa, Pangeran Aji Saka bersama kedua pembatunya singgah di Pulau Bawean. Salah satu pembantunya yang bernama Doro di tinggal di Bawean bersama salah satu pusaka (pedang ) Aji Saka. Kemudian Aji Saka bersama Sembodo berangkat ke JawaDwipa. Aji Saka berpesan kepada Doro bahwa Pusaka itu tidak boleh diberikan kepada siapapun kecuali di ambil sendiri oleh Aji Saka.
Singkat cerita, setelah Pulau Jawa menjadi Hindu. Aji Saka teringat pada pembatunya di Bawean, Dan dia mengutus Sembodo untuk menjemput Doro dan mengambil Pusaka Aji Saka. Dan Aji Saka lupa bahwa dia pernah berpesan kepada Doro bahwa pusakanya tidak boleh diberikan kepada siapapun kecuali diambil sendiri oleh Aji Saka.
Setelah Sembodo sampai di Pulau Bawean, timbul salah paham antara Sembodo dan Doro. Doro memegang janjinya kepada Aji Saka bahwa pusakanya tidak akan diberikan kepada siapapun kecuali kepada Aji Saka, sedangkan Sembodo tidak mau kembali ke Pulau Jawa dengan tangan hampa karena tidak bisa membawa Pusaka seperti yang di amanatkan oleh Aji Saka. Karena masing-masing bersikeras dengan pendapatnya sendiri sehingga terjadilah perkelahian yang mengakibatkan keduanya meninggal.
Makam Doro Ada di di Tinggen yang dikenal dengan makam panjang doro, sedangkan makam Sembodo ada di tempat Pemakaman Umum di desa Tinggen.
Cerita ini pernah di putar di TVRI ( Televisi Republik Indonesia) tahun 1992. Tapi tidak disebutkan bahwa Dusun Tinggen Ada di Pulau Bawean. Tahun 1950-an terdapat prasasti yang diperkirakan dibuat oleh Aji Saka untuk mengenang kedua Pembantunya (Doro dan Sembodo) yang meninggal di Pulau Bawean. Prasasti itu Ditulis di Batu Besar dengan tulisan Honocoroko dengan stempel cap Kaki Kiri. Prasasti itu dulu terdapat di dusun Tinggen namun sayang prasasti itu di rusak Dan batunya di buat Jembatan di dusun Muara.
Selain obyek wisata berupa Makam panjang, di sana juga terdapat pemandangan bahari yang indah sekali, apalagi disebelah selatan Makam panjang Ada gunung Dan di pesisir gunung banyak Kita jumpai hutan bakau. Di kanan dan kiri makam juga terdapat pantai yang mana kalau Kita menengok ke selabah timur bisa Kita lihat dermaga dan jika Kita menengok ke sisi barat, matahari tenggelam menjadi andalan tempat ini. Dan rugi sekali rasanya jika Kita melewatkan tempat ini.
Konon itu adalah tempat pusaka Aji Saka yang dikubur bersama darah Doro. Aji Saka adalah seorang Penyebar agama Hindu di Pulau Jawa (Javadwipa) yang berasal dari Kerajaan Asoka di India. Dia adalah salah satu pangeran dari kerajaan Asoka yang merantau ke Jawadwipa bersama dua orang pembatunya yang bernama Doro dan Sembodo.
Sebelum masuk ke Pulau Jawa, Pangeran Aji Saka bersama kedua pembatunya singgah di Pulau Bawean. Salah satu pembantunya yang bernama Doro di tinggal di Bawean bersama salah satu pusaka (pedang ) Aji Saka. Kemudian Aji Saka bersama Sembodo berangkat ke JawaDwipa. Aji Saka berpesan kepada Doro bahwa Pusaka itu tidak boleh diberikan kepada siapapun kecuali di ambil sendiri oleh Aji Saka.
Singkat cerita, setelah Pulau Jawa menjadi Hindu. Aji Saka teringat pada pembatunya di Bawean, Dan dia mengutus Sembodo untuk menjemput Doro dan mengambil Pusaka Aji Saka. Dan Aji Saka lupa bahwa dia pernah berpesan kepada Doro bahwa pusakanya tidak boleh diberikan kepada siapapun kecuali diambil sendiri oleh Aji Saka.
Setelah Sembodo sampai di Pulau Bawean, timbul salah paham antara Sembodo dan Doro. Doro memegang janjinya kepada Aji Saka bahwa pusakanya tidak akan diberikan kepada siapapun kecuali kepada Aji Saka, sedangkan Sembodo tidak mau kembali ke Pulau Jawa dengan tangan hampa karena tidak bisa membawa Pusaka seperti yang di amanatkan oleh Aji Saka. Karena masing-masing bersikeras dengan pendapatnya sendiri sehingga terjadilah perkelahian yang mengakibatkan keduanya meninggal.
Makam Doro Ada di di Tinggen yang dikenal dengan makam panjang doro, sedangkan makam Sembodo ada di tempat Pemakaman Umum di desa Tinggen.
Cerita ini pernah di putar di TVRI ( Televisi Republik Indonesia) tahun 1992. Tapi tidak disebutkan bahwa Dusun Tinggen Ada di Pulau Bawean. Tahun 1950-an terdapat prasasti yang diperkirakan dibuat oleh Aji Saka untuk mengenang kedua Pembantunya (Doro dan Sembodo) yang meninggal di Pulau Bawean. Prasasti itu Ditulis di Batu Besar dengan tulisan Honocoroko dengan stempel cap Kaki Kiri. Prasasti itu dulu terdapat di dusun Tinggen namun sayang prasasti itu di rusak Dan batunya di buat Jembatan di dusun Muara.
Selain obyek wisata berupa Makam panjang, di sana juga terdapat pemandangan bahari yang indah sekali, apalagi disebelah selatan Makam panjang Ada gunung Dan di pesisir gunung banyak Kita jumpai hutan bakau. Di kanan dan kiri makam juga terdapat pantai yang mana kalau Kita menengok ke selabah timur bisa Kita lihat dermaga dan jika Kita menengok ke sisi barat, matahari tenggelam menjadi andalan tempat ini. Dan rugi sekali rasanya jika Kita melewatkan tempat ini.
Kandasnya Sebuah Kapal Haji (2)
Alkisah, pada suatu hari ada sebuah kapal besar dari arah timur yang berlayar menuju Mekkah. Kapal tersebut ingin mengantar para penumpangnya untuk menunaikan ibadah haji. Entah karena apa, setelah sampai di sebelah tenggara Pulau Bawean, kapal tersebut tiba-tiba kandas. Padahal laut itu amat dalam dan tak kelihatan satu bendapun yang menahan kapal tersebut.
Setelah beberapa jenak, tiba-tiba dengan sangat ajaib di atas geladak kapal itu ada seekor ayam jantan berbulu putih mulus dan berparuh emas, kemudian ia berkokok nyaring sekali. Seketika itu pula kapal itu sudah tidak bergerak lagi dan benar-benar kandas yang lambat laun bagian-bagiannya menjadi karang dan batu. Sedang tiangnya menjadi pohon nangger yang masih ada sampai sekarang. Barang-barang para penumpang mulai menjamur dan ditumbuhi banyak tanaman. Sedang para penumpangnya yang ingin naik haji tiba-tiba menjelma menjadi kera atau "bhukal" kata orang Bawean.
Setelah beberapa jenak, tiba-tiba dengan sangat ajaib di atas geladak kapal itu ada seekor ayam jantan berbulu putih mulus dan berparuh emas, kemudian ia berkokok nyaring sekali. Seketika itu pula kapal itu sudah tidak bergerak lagi dan benar-benar kandas yang lambat laun bagian-bagiannya menjadi karang dan batu. Sedang tiangnya menjadi pohon nangger yang masih ada sampai sekarang. Barang-barang para penumpang mulai menjamur dan ditumbuhi banyak tanaman. Sedang para penumpangnya yang ingin naik haji tiba-tiba menjelma menjadi kera atau "bhukal" kata orang Bawean.
Bintang Putih Membuat Pulau Bawean Terkenal
Beberapa pekerja tampak memotongi batu di bukit-bukti cadas Pulau Bawean. Dengan memakai linggis dan gergaji, tonjolan bukit cadas yang menghias Bawean itu sedikit demi sedikit terkepras.
Bongkahan batu besar hasil potongan kemudian diangkut truk ke pengusaha batu onyx setempat. Penggalian batu onyx ini memang jadi dilema. Dari sisi ekonomi, batu-batu itu bernilai tinggi setelah diolah. Tapi di sisi lain kondisi gunung batu yang bertonjolan di Pulau Bawean pun rusak.
Di pulau ini ada beberapa pengolah batu onyx. Dua di antaranya di Desa Patar Selamat (H Abdurrahman) dan di Desa Sungai Teluk (Arifin). Keduanya berada di Kecamatan Sangkapura.
M. Nur Ikhsan mewakili H Abdurrahman menjelaskan, banyak investor mancanegara yang mengajak kerja sama dengan pihaknya karena tertarik dengan batu onyx Bawean.
Salah satunya, investor asal negara Taiwan. “Kami mulai join dengan investor asal Taiwan itu tahun 2005 lalu, dan berjalan selama setahun. Kami mengirim batu onyx setengah jadi ke Taiwan,” kata dia.
Tahun 2006 Nur Ikhsan mengetahui harga jual onyx ternyata jauh lebih mahal dibandingkan harga belinya di Bawean. “Untung mereka sangat banyak, karena batu kita dihargai terlalu murah. Karena itu kami meminta kerja sama itu dihentikan,” kata Ikhsan.
Menariknya, kata pria 31 tahun itu, investor dari Taiwan itu langsung mengacungkan jempol ketika melihat batu onyx jenis bintang putih. “Ini baru batu yang bagus,” kata Ikhsan menirukan tanggapan investor asing itu saat pertama kali melihat contoh bintang putih. “Jika dibandingkan batu onyx di daerah lain, batu onyx Bawean terbaik,” tegas Iksan kembali.
Dia menjelaskan, ada tiga tambang batu onyx di Bawean, yaitu di Desa Sungai Teluk dan Desa Sawahmulya, Kec. Sangkapura, serta di Desa Kepuh Legundi, Kec. Tambak. Batu onyx di Sungai Teluk dan Sawahmulya sering dikenal dengan nama batu bintang sedangkan di Kepuh Legundi disebut dengan nama bintang putih. Batu onyx bintang putih inilah yang dianggap kualitasnya terbaik, lebih bening, mengkilap dan warnanya putih, berbeda dengan di daerah lain yang agak kecoklatan dan kusam.
Jenis kedua, batu bintang, banyak terdapat di Dusun Rujing. Batu ini memiliki corak dengan garis-garis atau urat kecoklatan. Meskipun tidak seindah bintang putih, batu bintang masih lebih indah dibandingkan batu onyx dari daerah lain. Sedangkan persamaannya, keduanya sama-sama bening bisa tembus cahaya mirip seperti sifat kaca.
Harga batu onyx bintang putih lebih mahal daripada bintang batu. Kap lampu ukuran standar dari batu bintang harganya hanya Rp 85 ribu, sedang yang menggunakan onyx bintang putih harganya mencapai Rp 125 ribu. “Untuk satu model barang saja selisihnya hingga Rp 45 ribu,” tandasnya.
Selain investor asal Taiwan, jelas Ikhsan, beberapa waktu lalu ada investor mancanegara lain yang juga tertarik dengan batu onyx Bawean. Investor dari Australia itu juga memiliki usaha barang unik di Jogja. Berbeda dengan investor asal Taiwan yang tertarik dengan batu onyx bintang putih, investor asal negeri kanguru ini justru tertarik dengan batu bintang yang berwarna kecoklatan itu.
“Menurut investor itu, batu bintang ini tampak lebih alami dibanding batu bintang putih. Saat itu mereka mengambil sampel batu bintang kecil-kecil yang sudah menjadi hasil kerajinan. Saat ini kami masih menunggu kabar dari mereka bagaimana kelanjutannya,” ujarnya.
Dijelaskan Ikhsan, selain mengolah batu onyx menjadi bahan baku setengah jadi, usaha yang dimiliki mertuanya itu juga mengolah menjadi barang jadi, tapi berupa kerajinan sederhana seperti meja, kursi, kap lampu, keramik untuk tembok dan lantai, asbak, dan kerajinan lain yang tidak rumit.
“Di sini, model jadi kerajinan yang kami olah terbatas, karena alat dan kemampuan pengrajin di sini juga terbatas. Untuk mengolah menjadi kerajinan itu awalnya kami mendatangkan empat pengrajin dari Tulungagung,” kata Ikhsan.
Orang Bawean sendiri, menurutnya, belum ada yang mumpuni mengolah batu onyx menjadi kerajinan. Mereka lebih memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia atau Singapura daripada menjadi pengrajin batu onyx.
“Ketika ada pesanan yang terbilang susah, seperti patung kuda, naga, kumpulan ikan, ayam atau lainnya, kami tidak mampu. Tapi untuk menyiasatinya, kami mendatangkan hasil jadinya dari Tulungagung. Sebenarnya lucu, barang asli Bawean, kemudian dikirim ke Tulungagung, tapi kemudian dibawa kembali ke Bawean lantaran skill dan alat kami terbatas,” jelas Ikhsan.
Selain kekurangan tenaga terampil, industri onyx di Bawean juga terkendala pasokan listrik. Jika listrik di Bawean bisa menyala 24 jam nonstop, mereka pasti beralih menggunakan tenaga listrik dan meninggalkan tenaga diesel.
“Setiap dua setengah hari, diesel pemotong saya menghabiskan 100 liter solar, sedangkan harga solar Rp 5.000 per liter. Coba bayangkan berapa biaya untuk solar yang harus saya keluarkan dalam sebulan. Jika listrik di sini sudah menyala 24 jam penuh, saya pasti beralih menggunakan tenaga listrik karena bisa menghemat Rp 5 jutaan per bulannya untuk bahan bakar saja,”
==============
Butuh Tenaga Pengolah Batu
Batu onyx Bawean berkualitas tinggi. Kijing makam mantan presiden RI kedua, Soeharto dan istrinya juga terbuat dari onyx asal Bawean. Sayangnya, Bawean baru sekadar produsen bahan mentah, belum bisa mengolah. Terbatasnya tenaga yang memiliki skill pengolahan onyx menjadi kendala besar.
Padahal, keberadaan tenaga pengolah diakui Arifin sangat membantu peningkatan kesejahteraan. “Di Tulungagung, sebelum ada suplai bahan baku dari Bawean, kondisi perekonomian tiap-tiap pengrajin rata-rata kelas menengah ke bawah. Coba lihat sekarang, rumah mereka mentereng-mentereng. Apalagi Bawean, jika memiliki pengrajian ahli yang banyak, hasilnya pasti mentereng,” tandas pengrajin onyx dari Desa Sungai Teluk ini.
Menurut Arifin, mengirim kerajinan jadi risikonya lebih besar. Sebab, menurut Arifin transportasi melalui laut saat ini belum memadai kapalnya, sehingga rawan pecah atau rusak saat dikirim ke luar Bawean.
Selain itu, senada dengan Ikhsan, untuk menproduksi batu onyx menjadi kerajinan jadi Arifin susah mencari tenaga ahli. Untuk memotong batu onyx dari bongkahan menjadi barang setengah jadi saja tahun 2003 lalu dia mendatangkan tenaga dari Tulungagung. Bahkan, saat ini kuli tambang batu onyxnya masih harus mencari ke Tulungagung.
“Tapi, mulai tahun 2004 lalu tenaga pemotong batu onyx menjadi bahan setengah jadi sudah ada dari Bawean, mereka belajar dari orang Tulungagung yang dulu saya panggil itu. Saat ini tenaga pemotong asli Bawean ada tujuh orang, sedangkan kuli tambangnya sembilan orang, semuanya dari Tulungagung,” katanya.
Arifin menilai, usaha batu onyx ini sangat menjanjikan, terlebih kualitas batu onyx di Bawean terbaik. Limbah sisa pemotongan saat pengolahan menjadi bahan baku setengah jadi pun menjadi rebutan pembeli, bisa digunakan untuk lantai atau dinding.
Berbicara masalah keuntungan, Ikhsan membeberkan ketika pesanan lancar, per bulan dia bisa meraup pendapatan bersih Rp 16-18 juta dari penjualan bahan baku setengah jadi.
Selain mengolah bahan baku setengah jadi dan menghasilkan kerajinan, terkadang dia juga mendapatkan order pemasangan dinding atau lantai batu onyx.
Arifin sendiri pernah menggarap rumah milik H Jufri di Batam dan H Sujai di Tanjungpinang. Biaya pemasangan beserta tenaga ahli pemasangnya mencapai ratusan juta rupiah
Bongkahan batu besar hasil potongan kemudian diangkut truk ke pengusaha batu onyx setempat. Penggalian batu onyx ini memang jadi dilema. Dari sisi ekonomi, batu-batu itu bernilai tinggi setelah diolah. Tapi di sisi lain kondisi gunung batu yang bertonjolan di Pulau Bawean pun rusak.
Di pulau ini ada beberapa pengolah batu onyx. Dua di antaranya di Desa Patar Selamat (H Abdurrahman) dan di Desa Sungai Teluk (Arifin). Keduanya berada di Kecamatan Sangkapura.
M. Nur Ikhsan mewakili H Abdurrahman menjelaskan, banyak investor mancanegara yang mengajak kerja sama dengan pihaknya karena tertarik dengan batu onyx Bawean.
Salah satunya, investor asal negara Taiwan. “Kami mulai join dengan investor asal Taiwan itu tahun 2005 lalu, dan berjalan selama setahun. Kami mengirim batu onyx setengah jadi ke Taiwan,” kata dia.
Tahun 2006 Nur Ikhsan mengetahui harga jual onyx ternyata jauh lebih mahal dibandingkan harga belinya di Bawean. “Untung mereka sangat banyak, karena batu kita dihargai terlalu murah. Karena itu kami meminta kerja sama itu dihentikan,” kata Ikhsan.
Menariknya, kata pria 31 tahun itu, investor dari Taiwan itu langsung mengacungkan jempol ketika melihat batu onyx jenis bintang putih. “Ini baru batu yang bagus,” kata Ikhsan menirukan tanggapan investor asing itu saat pertama kali melihat contoh bintang putih. “Jika dibandingkan batu onyx di daerah lain, batu onyx Bawean terbaik,” tegas Iksan kembali.
Dia menjelaskan, ada tiga tambang batu onyx di Bawean, yaitu di Desa Sungai Teluk dan Desa Sawahmulya, Kec. Sangkapura, serta di Desa Kepuh Legundi, Kec. Tambak. Batu onyx di Sungai Teluk dan Sawahmulya sering dikenal dengan nama batu bintang sedangkan di Kepuh Legundi disebut dengan nama bintang putih. Batu onyx bintang putih inilah yang dianggap kualitasnya terbaik, lebih bening, mengkilap dan warnanya putih, berbeda dengan di daerah lain yang agak kecoklatan dan kusam.
Jenis kedua, batu bintang, banyak terdapat di Dusun Rujing. Batu ini memiliki corak dengan garis-garis atau urat kecoklatan. Meskipun tidak seindah bintang putih, batu bintang masih lebih indah dibandingkan batu onyx dari daerah lain. Sedangkan persamaannya, keduanya sama-sama bening bisa tembus cahaya mirip seperti sifat kaca.
Harga batu onyx bintang putih lebih mahal daripada bintang batu. Kap lampu ukuran standar dari batu bintang harganya hanya Rp 85 ribu, sedang yang menggunakan onyx bintang putih harganya mencapai Rp 125 ribu. “Untuk satu model barang saja selisihnya hingga Rp 45 ribu,” tandasnya.
Selain investor asal Taiwan, jelas Ikhsan, beberapa waktu lalu ada investor mancanegara lain yang juga tertarik dengan batu onyx Bawean. Investor dari Australia itu juga memiliki usaha barang unik di Jogja. Berbeda dengan investor asal Taiwan yang tertarik dengan batu onyx bintang putih, investor asal negeri kanguru ini justru tertarik dengan batu bintang yang berwarna kecoklatan itu.
“Menurut investor itu, batu bintang ini tampak lebih alami dibanding batu bintang putih. Saat itu mereka mengambil sampel batu bintang kecil-kecil yang sudah menjadi hasil kerajinan. Saat ini kami masih menunggu kabar dari mereka bagaimana kelanjutannya,” ujarnya.
Dijelaskan Ikhsan, selain mengolah batu onyx menjadi bahan baku setengah jadi, usaha yang dimiliki mertuanya itu juga mengolah menjadi barang jadi, tapi berupa kerajinan sederhana seperti meja, kursi, kap lampu, keramik untuk tembok dan lantai, asbak, dan kerajinan lain yang tidak rumit.
“Di sini, model jadi kerajinan yang kami olah terbatas, karena alat dan kemampuan pengrajin di sini juga terbatas. Untuk mengolah menjadi kerajinan itu awalnya kami mendatangkan empat pengrajin dari Tulungagung,” kata Ikhsan.
Orang Bawean sendiri, menurutnya, belum ada yang mumpuni mengolah batu onyx menjadi kerajinan. Mereka lebih memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia atau Singapura daripada menjadi pengrajin batu onyx.
“Ketika ada pesanan yang terbilang susah, seperti patung kuda, naga, kumpulan ikan, ayam atau lainnya, kami tidak mampu. Tapi untuk menyiasatinya, kami mendatangkan hasil jadinya dari Tulungagung. Sebenarnya lucu, barang asli Bawean, kemudian dikirim ke Tulungagung, tapi kemudian dibawa kembali ke Bawean lantaran skill dan alat kami terbatas,” jelas Ikhsan.
Selain kekurangan tenaga terampil, industri onyx di Bawean juga terkendala pasokan listrik. Jika listrik di Bawean bisa menyala 24 jam nonstop, mereka pasti beralih menggunakan tenaga listrik dan meninggalkan tenaga diesel.
“Setiap dua setengah hari, diesel pemotong saya menghabiskan 100 liter solar, sedangkan harga solar Rp 5.000 per liter. Coba bayangkan berapa biaya untuk solar yang harus saya keluarkan dalam sebulan. Jika listrik di sini sudah menyala 24 jam penuh, saya pasti beralih menggunakan tenaga listrik karena bisa menghemat Rp 5 jutaan per bulannya untuk bahan bakar saja,”
==============
Butuh Tenaga Pengolah Batu
Batu onyx Bawean berkualitas tinggi. Kijing makam mantan presiden RI kedua, Soeharto dan istrinya juga terbuat dari onyx asal Bawean. Sayangnya, Bawean baru sekadar produsen bahan mentah, belum bisa mengolah. Terbatasnya tenaga yang memiliki skill pengolahan onyx menjadi kendala besar.
Padahal, keberadaan tenaga pengolah diakui Arifin sangat membantu peningkatan kesejahteraan. “Di Tulungagung, sebelum ada suplai bahan baku dari Bawean, kondisi perekonomian tiap-tiap pengrajin rata-rata kelas menengah ke bawah. Coba lihat sekarang, rumah mereka mentereng-mentereng. Apalagi Bawean, jika memiliki pengrajian ahli yang banyak, hasilnya pasti mentereng,” tandas pengrajin onyx dari Desa Sungai Teluk ini.
Menurut Arifin, mengirim kerajinan jadi risikonya lebih besar. Sebab, menurut Arifin transportasi melalui laut saat ini belum memadai kapalnya, sehingga rawan pecah atau rusak saat dikirim ke luar Bawean.
Selain itu, senada dengan Ikhsan, untuk menproduksi batu onyx menjadi kerajinan jadi Arifin susah mencari tenaga ahli. Untuk memotong batu onyx dari bongkahan menjadi barang setengah jadi saja tahun 2003 lalu dia mendatangkan tenaga dari Tulungagung. Bahkan, saat ini kuli tambang batu onyxnya masih harus mencari ke Tulungagung.
“Tapi, mulai tahun 2004 lalu tenaga pemotong batu onyx menjadi bahan setengah jadi sudah ada dari Bawean, mereka belajar dari orang Tulungagung yang dulu saya panggil itu. Saat ini tenaga pemotong asli Bawean ada tujuh orang, sedangkan kuli tambangnya sembilan orang, semuanya dari Tulungagung,” katanya.
Arifin menilai, usaha batu onyx ini sangat menjanjikan, terlebih kualitas batu onyx di Bawean terbaik. Limbah sisa pemotongan saat pengolahan menjadi bahan baku setengah jadi pun menjadi rebutan pembeli, bisa digunakan untuk lantai atau dinding.
Berbicara masalah keuntungan, Ikhsan membeberkan ketika pesanan lancar, per bulan dia bisa meraup pendapatan bersih Rp 16-18 juta dari penjualan bahan baku setengah jadi.
Selain mengolah bahan baku setengah jadi dan menghasilkan kerajinan, terkadang dia juga mendapatkan order pemasangan dinding atau lantai batu onyx.
Arifin sendiri pernah menggarap rumah milik H Jufri di Batam dan H Sujai di Tanjungpinang. Biaya pemasangan beserta tenaga ahli pemasangnya mencapai ratusan juta rupiah