Tuesday, October 30, 2012

Ciri-ciri wanita calon penghuni Syurga


Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.


Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Di antaranya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad : 15)

“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah : 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, di antaranya :

“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah : 22-23)

“Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman : 56)

“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman : 58)

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah : 35-37)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau :

“ … seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Di antara yang didendangkan oleh mereka : “Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan : “Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1557)

Apakah Ciri-Ciri Wanita Surga

Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?

Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.

Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Di antara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah :

1. Bertakwa.

2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.

4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.

5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.

6. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.

7. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.

8. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.

9. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.

10. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.

11. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.

12. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).

13. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.

14. Berbakti kepada kedua orang tua.

15. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.

Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman :

“ … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’ : 13)

CIRI-CIRI SEORANG BAKAL PENGHUNI SYURGA


Diriwayatkan dari Anas bin Malik dia berkata, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba-tiba beliau bersabda, ‘Sebentar lagi akan datang seorang laki-laki penghuni Syurga.’ Kemudian seorang laki-laki dari Anshar lewat di hadapan mereka sementara bekas air wudhu masih membasahi janggutnya, sedangkan tangan kirinya membawa selipar.

Esok harinya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi, ‘Akan datang di hadapan kalian seorang laki-laki penghuni Syurga.’ Kemudian muncul lelaki yang seperti hari sebelumnya. 


Keesokan harinya lagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Akan datang di hadapan kalian seorang lelaki penghuni Syurga!!’ Tidak berapa lama kemudian orang itu masuk sebagaimana kondisi sebelumnya; bekas air wudhu masih memenuhi janggutnya, sedangkan tangan kirinya membawa selipar.


Setelah itu Rasulullah bangkit dari tempat duduknya. Sementara Abdullah bin Amr bin Ash mengikuti lelaki tersebut, lalu ia berkata kepada lelaki tersebut, ‘Aku mempunyai masalah dengan orang tuaku, aku berjanji tidak akan pulang ke rumah selama tiga hari. Jika engkau mengizinkan, maka aku akan menginap di rumahmu untuk memenuhi sumpahku itu. 


Dia menjawab, ‘Silakan!’ 


Anas berkata bahwa Amr bin Ash setelah menginap tiga hari tiga malam di rumah lelaki tersebut tidak pernah mendapatinya sedang qiyamullail, hanya saja tiap kali terjaga dari tidurnya ia membaca dzikir dan takbir hingga menjelang subuh. Kemudian mengambil air wudhu. 


Abdullah juga mengatakan, Saya tidak mendengar ia berbicara kecuali yang baik.’ 


Setelah menginap tiga malam, saat hampir saja Abdullah menganggap remeh amalnya, ia berkata, ‘Wahai hamba Allah, sesungguhnya aku tidak sedang bermasalah dengan orang tuaku, hanya saja aku mendengar Rasulullah selama tiga hari berturut-turut di dalam satu majelis beliau bersabda, ‘Akan lalu di hadapan kalian seorang lelaki penghuni Syurga.’ Selesai beliau bersabda, ternyata yang muncul tiga kali berturut-turut adalah engkau. 


Oleh sebab itu aku ingin menginap di rumahmu ini, untuk mengetahui amalan apa yang engkau lakukan, sehingga aku dapat mengikuti amalanmu. Sejujurnya aku tidak melihatmu mengerjakan amalan yang berpahala besar. Sebenarnya amalan apakah yang engkau kerjakan sehingga Rasulullah berkata demikian?’ 


Kemudian lelaki Anshar itu menjawab, ‘Sebagaimana yang kamu lihat, aku tidak mengerjakan amalan apa-apa, hanya saja aku tidak pernah mempunyai rasa iri kepada sesama muslim atau hasad terhadap kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya.’ 


Abdullah bin Amr berkata, ‘Rupanya itulah yang menyebabkan kamu mencapai darjat itu, sebuah amalan yang kami tidak mampu melakukannya’.”

Siapa lelaki yang DAYUS mengikut Islam?


Nabi SAW bersabda :-
ثلاثة لا ينظر الله عز وجل إليهم يوم القيامة: العاق لوالديه، والمترجلة، والديوث. رواه أحمد والنسائي
Ertinya : Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat (bermakna tiada bantuan dari dikenakan azab) mereka di hari kiamat : Si penderhaka kepada ibu bapa, si perempuan yang menyerupai lelaki dan si lelaki DAYUS" ( Riwayat Ahmad & An-Nasaie: Albani mengesahkannya Sohih  : Ghayatul Maram, no 278 )
Dalam sebuah hadith lain pula :
 ثلاثةٌ قد حَرّمَ اللهُ - تَبَارَكَ وَتَعَالَى - عليهم الجنةَ : مُدْمِنُ الخمر ، والعاقّ ، والدّيّوثُ الذي يُقِرُّ في أَهْلِهِ الخُبْثَ . رواه أحمد والنسائي .
Ertinya : Tiga yang telah Allah haramkan baginya Syurga : orang yang ketagih arak, si penderhaka kepada ibu bapa dan Si Dayus yang membiarkan maksiat dilakukan oleh ahli keluarganya" ( Riwayat Ahmad )
Malah banyak lagi hadith-hadith yang membawa makna yang hampir dengan dua hadith ini. Secara ringkasnya, apakah dan siapakah lelaki dayus?
ERTI DAYUS
suami tiada kuasa?Dayus telah disebutkan dalam beberapa riwayat athar dan hadith yang lain iaitu :-
1)     Sabda Nabi : -
وعن عمار بن ياسر عن رسول الله قال ثلاثة لا يدخلون الجنة أبدا الديوث والرجلة من النساء والمدمن الخمر قالوا يا رسول الله أما المدمن الخمر فقد عرفناه فما الديوث قال الذي لا يبالي من دخل على أهله
Ertinya : Dari Ammar bin Yasir berkata, ia mendengar dari Rasulullah SAW berkata : " Tiga yang tidak memasuki syurga sampai bila-bila iaiatu Si DAYUS, si wanita yang menyerupai lelaki dan orang yang ketagih arak" lalu sahabat berkata : Wahai Rasulullah, kami telah faham erti orang yang ketagih arak, tetapi apakah itu DAYUS? , berkata nabi : "IAITU ORANG YANG TIDAK MEMPERDULIKAN SIAPA YANG MASUK BERTEMU DENGAN AHLINYA (ISTERI DAN ANAK-ANAKNYA) - ( Riwayat At-Tabrani ; Majma az-Zawaid, 4/327 dan rawinya adalah thiqat)
Dari hadith di atas, kita dapat memahami bahawa maksud lelaki DAYUS adalah si suami atau bapa yang langsung tiada perasaan risau dan ambil endah dengan siapa isteri dan anaknya bersama, bertemu, malah sebahagiannya membiarkan sahaja isterinya dan anak perempuannya dipegang dan dipeluk oleh sebarangan lelaki lain.

2) Pernah juga diriwayatkan dalam hadith lain, soalan yang sama dari sahabat tentang siapakah dayus, lalu jawab Nabi:-
قالوا يا رسول الله وما الديوث قال من يقر السوء في أهله
Ertinya : Apakah dayus itu wahai Rasulullah ?. Jawab Nabi : Iaitu seseorang ( lelaki) yang membiarkan kejahatan ( zina, buka aurat, bergaul bebas ) dilakukan oleh ahlinya ( isteri dan keluarganya) 
Penerangan Ulama Tentang Lelaki Dayus
Jika kita melihat tafsiran oleh para ulama berkenaan istilah Dayus, ia adalah seperti berikut :-
هو الذي لا يغار على أهله
Ertinya : "seseorang yang tidak ada perasaan cemburu (kerana iman) terhadap ahlinya (isteri dan anak-anaknya) (An-Nihayah,2/147 ; Lisan al-Arab, 2/150)
Imam Al-‘Aini pula berkata : "Cemburu lawannya dayus" ( Umdatul Qari, 18/228 )
Berkata pula An-Nuhas :
قال النحاس هو أن يحمي الرجل زوجته وغيرها من قرابته ويمنع أن يدخل عليهن أو يراهن غير ذي محرم
Ertinya : cemburu ( iaitu lawan kepada dayus ) adalah seorang lelaki itu melindungi isterinya dan kaum kerabatnya dari ditemui dan dilihat (auratnya) oleh lelaki bukan mahram " (Tuhfatul Ahwazi, 9/357)
Disebut dalam kitab Faidhul Qadir :
فكأن الديوث ذلل حتى رأى المنكر بأهله فلا يغيره
Ertinya : Seolah-olah takrif dayus itu membawa erti kehinaan (kepada si lelaki) sehingga apabila ia melihat kemungkaran (dilakukan) oleh isteri dan ahli keluarganya ia tidak mengubahnya"  ( Faidhul Qadir, 3/327 )
Imam Az-Zahabi pula berkata :-
فمن كان يظن بأهله الفاحشة ويتغافل لمحبته فيها فهو دون من يعرس عليها ولا خير فيمن لا غيرة فيه
Ertinya : Dayus adalah sesiapa yang menyangka ( atau mendapat tanda) bahawa isterinya melakukan perkara keji ( seperti zina) maka ia mengabaikannya kerana CINTAnya kepada isterinya , maka tiada kebaikan untuknya dan tanda tiada kecemburuan ( yang diperlukan oleh Islam) dalam dirinya" ( Al-Kabair, 1/62 )
Imam Ibn Qayyim pula berkata :-
قال ابن القيم وذكر الديوث في هذا وما قبله يدل على أن أصل الدين الغيرة من لا غيرة له لا دين له فالغيرة تحمي القلب فتحمى له الجوارح فترفع السوء والفواحش وعدمها يميت القلب فتموت الجوارح فلا يبقى عندها دفع البتة
Ertinya : Sesungguhnya asal dalam agama adalah perlunya rasa ambil berat (protective) atau kecemburuan ( terhadap ahli keluarga) , dan barangsiapa yang tiada perasaan ini maka itulah tanda tiada agama dalam dirinya, kerana perasaan cemburu ini menjaga hati dan menjaga anggota sehingga terjauh dari kejahatan dan perkara keji, tanpanya hati akan mati maka matilah juga sensitiviti anggota ( terhadap perkara haram), sehingga menyebabkan tiadanya kekuatan untuk menolak kejahatan dan menghindarkannya sama sekali.
Dayus adalah dosa besar
Ulama Islam juga bersetuju untuk mengkategorikan dayus ini dalam bab dosa besar, sehingga disebutkan dalam satu athar :
لَعَنَ اللَّهُ الدَّيُّوثَ ( وَاللَّعْنُ مِنْ عَلَامَاتِ الْكَبِيرَةِ فَلِهَذَا وَجَبَ الْفِرَاقُ وَحَرُمَتْ الْعِشْرَةُ)
Ertinya : Allah telah melaknat lelaki dayus ( laknat bermakna ia adalah dosa besar dan kerana itu wajiblah dipisahkan suami itu dari isterinya dan diharamkan bergaul dengannya) (Matalib uli nuha, 5/320 )
Walaupun ia bukanlah satu fatwa yang terpakai secara meluas, tetapi ia cukup untuk menunjukkan betapa tegasnya sebahagian ulama dalam hal kedayusan lelaki ini.
Petikan ini pula menunjukkan lebih dahsyatnya takrifan para ulama tentang erti dayus dan istilah yang hampir dengannya :
والقواد عند العامة السمسار في الزنى
Ertinya : Al-Qawwad ( salah satu istilah yang disama ertikan dengan dayus) di sisi umum ulama adalah broker kepada zina" (Manar as-sabil, 2/340 , rawdhatul tolibin, 8/186 )
Imam Az-Zahabi menerangkan lagi berkenaan perihal dayus dengan katanya :-
الديوث وهو الذي يعلم بالفاحشة في أهله ويسكت ولا يغار وورد أيضا أن من وضع يده على امرأة لا تحل له بشهوة
Ertinya : Dayus, iaitu lelaki yang mengetahui perkara keji dilakukan oleh ahlinya dan ia sekadar senyap dan tiada rasa cemburu ( atau ingin bertindak), dan termasuk juga ertinya adalah sesiapa yang meletakkan tangannya kepada seorang wanita yang tidak halal baginya dengan syahwat" (Al-kabair, 1/45 )
Cemburu Dituntut Islam  & Jangan Marah
Ada isteri yang menyalahkan suami kerana terlalu cemburu, benar cemburu buta memang menyusahkan, memang dalam hal suami yang bertanya isteri itu dan ini menyiasat, saya nasihatkan agar isteri janganlah memarahi suami anda yang melakukan tindakan demikian dan jangan juga merasakan kecil hati sambil membuat kesimpulan bahawa suami tidak percaya kepada diri anda. Kerap berlaku, suami akan segera disalah erti sebagai ‘tidak mempunyai kepercayaan' kepada isteri.
Sebenarnya, kita perlu memahami bahawa ia adalah satu tuntutan dalam Islam dan menunjukkan anda sedang memiliki suami yang bertanggungjawab dan sedang subur imannya.
Selain itu, bergembiralah sang suami yang memperolehi isteri solehah kerana suami tidak lagi sukar untuk mengelakkan dirinya dari terjerumus dalam lembah kedayusan. Ini kerana tanpa sebarang campur tangan dan nasihat dari sang suami, isteri sudah pandai menjaga aurat, maruah dan dirinya.
Nabi SAW bersabda :
من سعادة ابن آدم المرأة الصالحة 
Ertinya : "Dari tanda kebahagian anak Adam adalah memperolehi wanita solehah ( isteri dan anak)" ( Riwayat Ahmad, no 1445, 1/168 )
Memang amat beruntung, malangnya tidak mudah memperolehi isteri solehah di zaman kehancuran ini, sebagaimana sukarnya mencari suami yang tidak dayus. Sejak dulu, agak banyak juga email dari pelbagai golongan muda kepada saya menyebut tentang keterlanjuran mereka secara 'ringan' dan 'berat', mereka ingin mengetahui cara bertawbat.
'Ringan-ringan' Sebelum Kahwin 
Jika seorang bapa mengetahui 'ringan-ringan' anak  dan membiarkannya, ia dayus. Ingin saya tegaskan, seorang wanita dan lelaki yang telah 'ringan-ringan' atau 'terlanjur' sebelum kahwin di ketika bercinta, tanpa tawbat yang sangat serius, rumah tangga mereka pasti goyah. Kemungkinan besar apabila telah berumah tangga, si suami atau isteri ini akan terjebak juga dengan 'ringan-ringan' dengan orang lain pula.
Hanya dengan tawbat nasuha dapat menghalangkan aktiviti mungkar itu dari melepasi alam rumah tangga mereka. Seterusnya, ia akan merebak pula kepada anak-anak mereka, ini kerana benih 'ringan-ringan' dan 'terlanjur' ini akan terus merebak kepada zuriat mereka. Awas..!!
Dalam hal ini, semua suami dan ayah perlu bertindak bagi mengelakkan diri mereka jatuh dalam dayus. Jagalah zuriat anda.
Suami juga patut sekali sekala menyemak hand phone isteri, beg isteri dan lain-lain untuk memastikan tiada yang diragui. Mungkin ada isteri yang curang ini dapat menyembunyikan dosanya, tetapi sepandai-pandai tupai melompat akhirnya akan tertangkap jua.  Saya tahu, pasti akan ada wanita yang kata.
"habis, kami ini tak yah check suami kami ke ustaz?"
Jawabnya, perlu juga, cuma topic saya sekarang ni sedang mencerita tanggung jawab suami. Maka perlulah saya fokus kepada tugas suami dulu ye.
Cemburu seorang suami dan ayah adalah wajib bagi mereka demi menjaga maruah dan kehormatan isteri dan anak-anaknya.
Diriwayatkan bagaimana satu peristiwa di zaman Nabi
قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ : لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسّيْفِ غَيْرُ مُصْفِحٍ عَنْهُ ، فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللّهِ صلى الله عليه على آله وسلم فَقَالَ : أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ ؟ فَوَ الله لأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ ، وَالله أَغْيَرُ مِنّي ، مِنْ أَجْلِ غَيْرَةِ الله حَرّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَن.
Ertinya : Berkata Ubadah bin Somit r.a : "Jika aku nampak ada lelaki yang sibuk bersama isteriku, nescaya akan ku pukulnya dengan pedangku", maka disampaikan kepada Nabi akan kata-kata Sa'ad tadi, lalu nabi memberi respond : "Adakah kamu kagum dengan sifat cemburu (untuk agama) yang dipunyai oleh Sa'ad ? , Demi Allah, aku lebih kuat cemburu (ambil endah dan benci demi agama) berbandingnya, malah Allah lebih cemburu dariku, kerana kecemburuan Allah itulah maka diharamkan setiap perkara keji  yang ternyata dan tersembunyi.. " ( Riwayat Al-Bukhari & Muslim )
Lihat betapa Allah dan RasulNya inginkan para suami dan ayah mempunyai sifat protective kepada ahli keluarga dari melakukan sebarang perkara keji dan mungkar, khasnya zina.
BILA LELAKI MENJADI DAYUS?
Secara mudahnya cuba kita lihat betapa ramainya lelaki akan menjadi DAYUS apabila :-
1) Membiarkan kecantikan aurat, bentuk tubuh isterinya dinikmati oleh lelaki lain sepanjang waktu pejabat (jika bekerja) atau di luar rumah.
2) Membiarkan isterinya balik lewat dari kerja yang tidak diketahui bersama dengan lelaki apa dan siapa, serta apa yang dibuatnya di pejabat dan siapa yang menghantar.
3) Membiarkan aurat isterinya dan anak perempuannya dewasanya terlihat (terselak kain) semasa menaiki motor atau apa jua kenderaan sepanjang yang menyebabkan aurat terlihat.
4) Membiarkan anak perempuannya ber'dating' dengan tunangnya atau teman lelaki bukan mahramnya.
5) Membiarkan anak perempuan berdua-duaan dengan pasangannya di rumah kononnya ibu bapa 'spoting' yang memahami.
6) Menyuruh, mengarahkan dan berbangga dengan anak perempuan dan isteri memakai pakaian yang seksi di luar rumah.
7) Membiarkan anak perempuannya memasuki akademi fantasia, mentor, gang starz dan lain-lain yang sepertinya sehingga mempamerkan kecantikan kepada jutaan manusia bukan mahram.
8) Membiarkan isterinya atau anaknya menjadi pelakon dan berpelukan dengan lelaki lain, kononnya atas dasar seni dan lakonan semata-mata. Adakah semasa berlakon nafsu seorang lelaki di hilangkan?. Tidak sekali-sekali.
9) Membiarkan isteri kerja dan keluar rumah tanpa menutup aurat dengan sempurna.
10) Membiarkan isteri disentuh anggota tubuhnya oleh lelaki lain tanpa sebab yang diiktoraf oleh Islam seperti menyelematkannya dari lemas dan yang sepertinya.
11) Membiarkan isterinya bersalin dengan dibidani oleh doktor lelaki tanpa terdesak dan keperluan yang tiada pilihan.
12) Membawa isteri dan anak perempuan untuk dirawati oleh doktor lelaki sedangkan wujudnya klinik dan hospital yang mempunyai doktor wanita.
13) Membiarkan isteri pergi kerja menumpang dengan teman lelaki sepejabat tanpa sebarang cemburu.
14) Membiarkan isteri kerap berdua-duan dengan pemandu kereta lelaki tanpa sebarang pemerhatian.
Terlalu banyak lagi jika ingin saya coretkan di sini. Kedayusan ini hanya akan sabit kepada lelaki jika semua maksiat yang dilakukan oleh isteri atau anaknya secara terbuka dan diketahui olehnya, adapun jika berlaku secara sulit, suami tidaklah bertanggungjawab dan tidak sabit 'dayus' kepad dirinya.
Mungkin kita akan berkata dalam hati :-
" Jika demikian, ramainya lelaki dayus di kelilingku"
Lebih penting adalah kita melihat, adakah kita sendiri tergolong dalam salah satu yang disebut tadi.
Awas wahai lelaki beriman..jangan kita termasuk dalam golongan yang berdosa besar ini.
Wahai para isteri dan anak-anak perempuan, jika anda sayangkan suami dan bapa anda, janganlah anda memasukkan mereka dalam kategori DAYUS yang tiada ruang untuk ke syurga Allah SWT.
Sayangilah dirimu dan keluargamu. Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.
Akhirnya, wahai para suami dan ayah, pertahankan agama isteri dan keluargamu walau terpaksa bermatian kerananya. Nabi SAW bersabda :
من قتل دون أهله فهو شهيد
Ertinya : "Barangsiapa yang mati dibunuh kerana mempertahankan ahli keluarganya, maka ia adalah mati syahid" ( Riwayat Ahmad , Sohih menurut Syeikh Syuaib Arnout)

Tuesday, October 2, 2012

MEMAHAMI MAKSUD BID‘AH HASANAH

 Sebelum kita menyelidiki maksud Bid‘ah Hasanah yang disebutkan dalam beberapa teks para ulama, terlebih dahulu kita wajar mendengar peringatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berhubung dengan bid‘ah. Sabda baginda: ...فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. Sesungguhnya sesiapa yang hidup selepasku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidin al-Mahdiyyin (mendapat petunjuk). Berpeganglah dengannya dan gigitlah ia dengan geraham. Jauhilah kamu perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) kerana setiap yang diada-adakan itu adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah sesat.[1] Berdasarkan hadith ini, baginda menggunakan perkataan (كلّ) yang bermaksud semua. Berpandukan hadith ini dan kefahaman kita terhadap maksud bid‘ah seperti yang dinyatakan oleh al-Imam al-Syatibi, maka bid‘ah dari segi istilah syarak tidak sepatutnya dibahagikan kepada hasanah(baik) dan saiyyiah (buruk). Yang benar kesemuanya adalahsaiyyah dan dhalalah (kesesatan). al-Imam Malik bin Anas rahimahullah (179H) berkata:[2] من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى الله عليه وسلم خان الرسالة، لأن الله يقول: (اليَومَ أكْمَلْتُ لَكُم دِينَكُمْ) فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا. Sesiapa yang membuat bid‘ah dalam Islam dan menganggapnya baik maka dia telah mendakwa Muhammadshallallahu ‘alaihi wasallam mengkhianati risalah. Ini kerana Allah telah berfirman: “Pada hari ini aku telah sempurnakan agama kamu”. Apa yang pada hari tersebut tidak menjadi agama, maka dia tidak menjadi agama pada hari ini. Perbahasan Bid‘ah Hasanah Ada beberapa tokoh sarjana Islam, terutamanya tokoh-tokoh mazhab al-Syafi’i, yang telah menyebut dalam kitab-kitab mereka istilah Bid‘ah Hasanahatau yang hampir dengannya, seperti Bid‘ah Mahmudah (بدعة محمودة), bid‘ah wajib, bid‘ah sunat dan bid‘ah harus. Antara tokoh tersebut ialah al-Imam al-Syafi’i (204H), al-Imam al-‘Izz ‘Abd al-Salam (660H), al-Imam al-Nawawi (676H) dan al-Imam al-Sayuti (911H) rahimahumullah. Akan tetapi apabila diteliti ucapan-ucapan mereka, kita dapati bid‘ah yang mereka maksudkan merujuk kepada Bid‘ah Hasanah dari sudut bahasa, bukan bid‘ah dari segi syarak. Marilah kita mengkaji lebih lanjut ucapan-ucapan mereka: Perbahasan Ucapan al-Imam al-Syafi‘i rahimahullah(204H)[3] Berkata Ibn Rajab al-Hanbali rahimahullah (795H): al-Syafi‘i berkata, “Bid‘ah itu ada dua jenis: Bid‘ah Mahmudah(dipuji) dan Bid‘ah Mazmumah(مذمومة) (dikeji). Apa yang menepati sunnah maka ia dipuji. Apa yang menyanggahi sunnah maka ia dikeji.” (Ibn Rajab meneruskan) Maksud al-Syafi‘i rahimahullah ialah seperti yang kita sebutkan sebelum ini, bahawa Bid‘ah Mazmumah ialah apa yang tiada asal dari syariat untuk dirujuk kepadanya. Inilah bid‘ah pada istilah syarak. Adapun Bid‘ah Mahmudah ialah apa yang bertepatan dengan sunnah. Iaitu apa yang ada baginya asal untuk dirujuk kepadanya. Ia adalah bid‘ah dari segi bahasa, bukannya dari segi syarak kerana ia menepati sunnah. [4] Justeru itu ketika menghuraikan maksud pembahagian bid‘ah oleh al-Imam al-Syafi‘i, al-Hafizd Ibn Hajar al-‘Asqalanirahimahullah (852H) berkata: Maka bid‘ah pada ta’rifan syarak adalah dikeji. Ini berbeza dengan (maksud bid‘ah dari segi) bahasa di mana setiap yang diada-adakan tanpa sebarang contoh dinamakan bid‘ah sama ada dipuji ataupun dikeji.[5] Antara bukti al-Imam al-Syafi‘i tidak memaksudkan bid‘ah dalam ibadah sebagai Bid‘ah Mahmudah ialah bantahan beliau terhadap golongan yang berterusan dalam berzikir secara kuat selepas solat. Amalan ini dianggap Bid‘ah Hasanaholeh sesetengah pihak. Ketika mengulas hadith Ibn ‘Abbas radhiallahu 'anh: إنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Sesungguhnya mengangkat suara dengan zikir setelah orang ramai selesai solat fardu berlaku pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam… al-Imam al-Syafi’i dalam kitab utamanya al-Umm berkata:[6] وأختار للامام والمأموم أن يذكرا الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكرَ إلا أن يكون إماما يُحِبُّ أن يتعلّم منه فيجهر حتى يُرى أنه قد تُعُلِّمَ منه ثم يُسِرّ. Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah mereka berzikir selepas selesai solat. Hendaklah mereka mensenyapkan zikir kecuali jika imam mahu dipelajari daripadanya (mengajar bacaan-bacaan zikir tersebut), maka ketika itu dikuatkan zikir. Sehinggalah apabila didapati telah dipelajari daripadanya, maka selepas itu hendaklah dia perlahankan. Adapun hadith Ibn ‘Abbas di atas, al-Imam al-Syafi’i menjelaskan seperti berikut: وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلّم الناس منه وذلك لأن عامة الروايات التي كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم تَهليلٌ ولا تكبير، وقد يذكر أنه ذكر بعد الصلاة بما وصَفْتُ، ويذكر انصرافَه بلا ذكر، وذكرت أمُّ سلمةَ مُكْثَه ولم يذكر جهرا، وأحسبه لم يَمكُثْ إلاّ ليذكرَ ذكرا غير جهْرٍ. فإن قال قائل: ومثل ماذا؟ قلت: مثل أنه صلّى على المنبر يكون قيامُه وركوعُه عليه وتَقهْقَرَ حتى يسجدَ على الأرض، وأكثر عمره لم يصلّ عليه، ولكنه فيما أرى أحب أن يعلم من لم يكن يراه ممن بَعُد عنه كيف القيامُ والركوعُ والرفع. يُعلّمهم أن في ذلك كله سعة. وأستحبُّ أن يذكر الإمام الله شيئا في مجلسه قدر ما يَتقدم من انصرف من النساء قليلا كما قالت أم سلمة ثم يقوم وإن قام قبل ذلك أو جلس أطولَ من ذلك فلا شيء عليه، وللمأموم أن ينصرفَ إذا قضى الإمام السلامَ قبل قيام الإمام وأن يؤخر ذلك حتى ينصرف بعد انصرافِ الإمام أو معه أَحَبُّ إلي له. Aku berpendapat baginda menguatkan suara (zikir) hanya untuk seketika untuk orang ramai mempelajarinya daripada baginda. Ini kerana kebanyakan riwayat yang telah kami tulis bersama ini[7] atau selainnya, tidak menyebut selepas salam terdapat tahlil [8] dan takbir. Kadang-kala riwayat menyebut baginda berzikir selepas solat seperti yang aku nyatakan, kadang-kala disebut baginda pergi tanpa zikir. Umm Salamah pula menyebut duduknya baginda[9] (selepas solat) tetapi tidak menyebut baginda berzikir secara kuat. Aku berpendapat baginda tidak duduk melainkan untuk berzikir secara tidak kuat. Jika seseorang berkata: “Seperti apa?”[10]. Aku katakan, sepertimana baginda pernah bersolat di atas mimbar, yang mana baginda berdiri dan rukuk di atasnya, kemudian baginda undur ke belakang untuk sujud di atas tanah. Kebanyakan umur baginda, baginda tidak solat di atasnya (mimbar). Akan tetapi aku berpendapat baginda mahu agar sesiapa yang jauh yang tidak melihat baginda dapat mengetahui bagaimana berdiri (dalam solat), rukuk dan bangun (dari rukuk). Baginda ingin mengajar mereka keluasan dalam itu semua. Aku suka sekiranya imam berzikir nama Allah di tempat duduknya sedikit dengan kadar yang seketika selepas kaum wanita pergi. Ini seperti apa yang Umm Salamah katakan. Kemudian imam boleh bangun. Jika dia bangun sebelum itu, atau duduk lebih lama dari itu, tidak mengapa. Makmum pula boleh pergi setelah imam selesai memberi salam, sebelum imam bangun. Jika dia lewatkan sehingga imam pergi, atau bersama imam, itu lebih aku sukai untuknya. Nyata sekali al-Imam al-Syafi’i rahimahullah tidak menamakan ini sebagai Bid‘ah Hasanah, sebaliknya beliau berusaha agar kita semua kekal dengan bentuk asal yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya maksud Bid‘ah Mahmudah yang disebut oleh al-Imam al-Syafi’i merangkumi perkara baru dalam cara beribadah yang dianggap baik, sudah tentu beliau akan memasukkan zikir secara kuat selepas solat dalam kategori Bid‘ah Mahmudah. Dengan itu tentu beliau juga tidak akan berusaha menafikannya. Ternyata bukan itu yang dimaksudkan oleh beliau rahimahullah.[11] Perbahasan Ucapan al-Imam ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salamrahimahullah (660H)[12] Dalam kitabnya Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam (قواعد الأحكام في مصالح الأنام) al-Imam ‘Izz Abd al-Salam rahimahullahmembahagikan bid‘ah kepada lima kategori:[13] 1. Bid‘ah Wajibah (bid‘ah wajib), 2. Bid‘ah Muharramah (bid‘ah yang diharamkan), 3. Bid‘ah Mandubah (bid‘ah yang disunatkan), 4. Bid‘ah Makruhah (bid‘ah makruh) dan 5. Bid‘ah Mubahah (bid‘ah yang diharuskan). Beliau mungkin orang yang paling awal membuat pembahagian ini. Sebenarnya faktor utama yang menyebabkan beliau menyebut bid‘ah dalam pembahagian yang sedemikian merujuk kepada ta’rif bid‘ah yang disebutnya pada awal buku tersebut yang merangkumi bid‘ah dari segi syarak dan bahasa. Buktinya beliau menyebut ta’rif bid‘ah dengan berkata:[14] البدعة فعل ما لم يعهَدْ في عصر رسول الله Bid‘ah adalah perbuatan yang tidak ada pada zaman Rasulullah. Ta’rif beliau begitu luas merangkumi perkara ibadah, cara baru dalam syarak dan urusan keduniaan yang tidak membabitkan penambahan syarak. Sedangkan bid‘ah dari segi syarak hanya tertumpu dalam persoalan cara taqarrub(menghampirkan diri kepada Allah melalui ibadah) dan perubahan atau penambahan pada jalan syarak. Ta’rif yang begitu luas tersebut menyebabkan beliau membuat pembahagian ke atas maksud bid‘ah sepertimana di atas. Oleh itu kita dapati ketika menyentuh tentang Bid‘ah Wajibah(bid‘ah wajib) beliau berkata: Bagi bid‘ah wajib itu beberapa contoh, salah satu daripadanya ialah menyibukkan diri dengan ilmu nahu yang dengannya difahami kalam Allah (firman Allah, iaitu al-Qur’an) dan kalam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (sabda Rasulullah, iaitu hadis).[15] Berdasarkan penjelasan al-Imam al-Syatibi rahimahullahyang telah kita kaji sebelum ini, jelas bahawa ini tidak termasuk dalam bid‘ah dari segi syarak. Marilah kita ulangi apa yang disebut oleh al-Imam al-Syatibi: Dengan ikatan ini maka terpisahlah (tidak dinamakan bid‘ah) segala yang jelas –walaupun bagi orang biasa – rekaan yang mempunyai kaitan dengan agama seperti ilmu nahu, saraf, mufradat bahasa, Usul al-Fiqh, Usul al-Din dan segala ilmu yang berkhidmat untuk syariat. Segala ilmu ini sekalipun tiada pada zaman yang awal tetapi asas-asasnya ada dalam syarak… Justeru itu tidak wajar sama sekali dinamakan ilmu nahu dan selainnya daripada ilmu lisan, ilmu usul atau apa yang menyerupainya yang terdiri daripada ilmu-ilmu yang berkhidmat untuk syariat sebagai bid‘ah. Sesiapa yang menamakannya bid‘ah, sama ada atas dasarmajaz (bahasa) seperti ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu 'anhyang menamakan “bid‘ah” solat orang ramai pada malam-malam Ramadhan atau atas dasar kejahilan dalam membezakan sunnah dan bid‘ah, maka pendapatnya tidak boleh dikira dan dipegang.[16] Dengan itu perbuatan sesetengah pihak mempergunakan pembahagian ini kepada bid‘ah-bid‘ah yang tidak dimaksudkan oleh al-Imam ‘Izz ‘Abd al-Salam rahimahullah adalah penyelewengan dalam menyalurkan maklumat kepada orang ramai. Di samping itu perlu ditambah bahawa al-Imam al-Syatibi telah menolak pembahagian yang dibuat oleh al-Imam al-‘Izz ‘Abd al-Salam dengan katanya: Sesungguhnya pembahagian ini adalah sesuatu yang hanya direka, tidak ada dalil syar‘i yang menunjukkannya. Bahkan ia sendiri saling bercanggahan. Ini kerana hakikat bid‘ah ialah sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh dalil syar‘i, sama ada daripada nas-nas syarak atau kaedah-kaedahnya. Kalau di sana ada dalil daripada syarak yang menunjukkan wajib, sunat, atau harus, maka itu bukanlah bid‘ah. Ia termasuk dalam keumuman amalan yang disuruh atau diberi pilihan. Mencampur aduk dalam menyenaraikan perkara-perkara tersebut adalah bid‘ah, iaitu mencampurkan antara perkara yang memiliki dalil yang menunjukkan kepada wajib, sunat atau harus dengan dua lagi (makruh dan haram) yang menyanggahinya.[17] Maksud al-Imam al-Syatibi, jika ada dalil yang menunjukkan sesuatu perkara itu adalah wajib atau sunat, maka tidak wajar ia dinamakan bid‘ah. Lebih tegas lagi, al-Imam al-Syatibi menganggap pembahagian itu sendiri adalah bid‘ah. Perbahasan Ucapan al-Imam al-Nawawi rahimahullah(676H)[18] al-Imam al-Nawawi dalam kitabnya Tahzib al-Asma` wa al-Lughat (تهذيب الأسماء واللغات) mengulangi dan menyetujui pembahagian yang dibuat oleh al-Imam al-‘Izz ‘Abd al-Salam rahimahullah. Untuk menguatkannya, beliau menambah dalam tulisannya itu apa yang dibahagikan oleh al-Imam al-Syafi’irahimahullah seperti disebutkan sebelum ini.[19] Jawapan kita terhadap perkara ini sama seperti yang telah disebutkan di atas. Jika diteliti karya-karya al-Imam al-Nawawi rahimahullah, beliau tidak pernah menganggap Bid‘ah Hasanah sebagaimana yang disangka oleh orang ramai masa kini. Di sini dinyatakan beberapa contoh: Pertama: Di dalam kitabnya al-Azkar, al-Imam al-Nawawirahimahullah menyebut:[20] • Ketahui sesungguhnya yang betul lagi terpilih yang menjadi amalan al-Salaf al-Salih radhiallahu 'anhum ialah diam ketika mengiringi jenazah. Jangan diangkat suara dengan bacaan, zikir dan selainnya. Hikmahnya nyata, iaitu lebih menenangkan hati dan menghimpunkan fikiran mengenai apa yang berkaitan dengan jenazah. Itulah yang dituntut dalam keadaan tersebut. Inilah cara yang betul. Jangan kamu terpengaruh dengan banyaknya orang yang menyanggahinya. • Sesungguhnya Abu ‘Ali al-Fudail bin ‘Iyad rahimahullahpernah berkata: “Berpegang dengan jalan petunjuk, jangan engkau tewas disebabkan sedikit yang melaluinya. Jauhilah jalan yang sesat. Jangan engkau terpengaruh dengan banyaknya golongan yang rosak (yang melakukannya).” • …… Adapun apa yang dilakukan oleh golongan jahil di Damsyik, iaitu melanjutkan bacaan al-Quran dan bacaan yang lain ke atas jenazah dan bercakap perkara yang tiada kaitan, ini adalah haram dengan ijma’ ulama. Sesungguhnya aku telah jelaskan dalam bab Adab al-Qiraah tentang keburukannya,besar keharamannya dan kefasikannnya bagi sesiapa yang mampu mengingkarinya tetapi tidak mengingkarinya. Nyata bahawa al-Imam al-Nawawi rahimahullah tidak menamakan perbuatan mem-bacakan al-Qur’an ketika mengiringi jenazah sebagai Bid‘ah Hasanah. Maka perbuatan sesetengah pihak mengiringi jenazah dengan bacaan al-Fatihah setapak demi setapak sebanyak beberapa kali dibantah berdasar teks imam yang agung ini. Pun begitu ramai di kalangan mereka menamakannya Bid‘ah Hasanah. Kedua: Dalam Syarh Sahih Muslim,[21] al-Imam al-Nawawirahimahullah menyebut:[22] • Sesungguhnya yang menjadi sunnah bagi salam dalam solat ialah dengan berkata: السلام عليكم ورحمة الله sebelah kanan, السلام عليكم ورحمة الله sebelah kiri. Tidak disunatkan menambah وبركاته. Sekalipun ia ada disebut dalam hadith dhaif dan diisyaratkan oleh sebahagian ulama. Namun ia adalah satu bid‘ah kerana tidak ada hadith yang sahih (yang menganjurkannya). Bahkan yang sahih dalam hadith ini[23] dan selainnya ialah meninggalkan tambahan itu. Tidakkah penambahan “waBarakatuh” merupakan satu penambahan yang pada zahirnya nampak baik? Jika Bid‘ah Hasanah ialah melabelkan semua yang nampak baik pada andaian manusia, tentu al-Imam al-Nawawi menamakan ini sebagai Bid‘ah Mustahabbah (yang disunatkan). Ketiga: Ketika mensyarahkan hadis berikut: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ. Daripada Abi Hurairah radhiallahu 'anh, daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, baginda bersabda: “Jangan kamu mengkhususkan malam Jumaat dengan solat yang berbeza dengan malam-malam yang lain. Jangan kamu mengkhususkan hari Jumaat dengan puasa yang berbeza dengan hari-hari yang lain kecuali ia dalam (bilangan hari) puasa yang seseorang kamu berpuasa.”[24] al-Imam al-Nawawi rahimahullah berkata: [25] Pada hadith ini larangan yang nyata bagi mengkhususkan malam Jumaat dengan sesuatu solat yang tiada pada malam-malam yang lain dan puasa pada siangnya seperti yang telah dinyatakan. Sepakat para ulama akan kemakruhannya. Para ulama berhujah dengan hadith ini mengenai kesalahan solat bid‘ah yang dinamakanSolat al-Raghaib[26]. Semoga Allah memusnahkan pemalsu dan pereka solat ini. Ini kerana sesungguhnya ia adalah bid‘ah yang munkar daripada jenis bid‘ah yang sesat dan jahil. Padanya kemunkaran yang nyata. Sesungguhnya sejumlah para ulama telah mengarang karangan yang berharga sebegitu banyak dalam memburukkannya dan menghukum sesat orang menunaikan solat tersebut dan perekanya. Para ulama telah menyebut dalil-dalil keburukannya, kebatilannya dan kesesatan pembuatnya. Perhatikan bahawa al-Imam al-Nawawi rahimahullahtidak menamakan solat sunat yang tidak wujud dalam hadith sebagai Bid‘ah Hasanah. Bahkan beliau menghukum sebagai sesat. Ketika ditanya mengenai solat ini (Solat al-Raghaib),al-Imam al-Nawawi pernah berkata: Bid‘ah yang buruk lagi sangat munkar… jangan terpengaruh dengan ramai yang melakukannya di banyak negeri. Juga jangan terpengaruh disebabkan ia disebut dalam Qut al-Qulub dan Ihya ‘Ulum al-Din.[27] Keempat: Dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (المجموع شرح المهذب), al-Imam al-Nawawi rahimahullah menyetujui tokoh-tokoh mazhab al-Syafi’i yang membantah jamuan atau kenduri sempena kematian. Katanya:[28] “Adapun menyediakan makanan oleh keluarga si mati dan menghimpunkan orang ramai kepadanya adalah tidak diriwayatkan daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedikit pun. Ia adalah bid‘ah yang tidak disukai.” al-Imam al-Nawawi tidak menamakan amalan penyediaan makanan oleh keluarga si mati dan menghimpunkan orang ramai padanya sebagai satu Bid‘ah Hasanah. Bahkan kitab-kitab mazhab al-Syafi’i begitu kuat menentang hal ini.[29] Perbahasan Ucapan al-Imam al-Sayuti rahimahullah(911H)[30] al-Imam al-Sayuti (السيوطي) telah menulis kitab khas berhubung dengan bid‘ah yang berjudul al-Amr bi al-Ittiba’ wa al-Nahy ‘an al-Ibtida’ (الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع) Di dalamnya beliau menyebut maksud Bid‘ah Hasanah, katanya: Bid‘ah Hasanah disepakati keharusan membuatnya. Juga disunatkan demi mengharapkan pahala bagi sesiapa yang baik niatnya. Iaitu setiap pembuatan bid‘ah yang bertepatan dengan kaidah-kaidah syarak tanpa menyanggahinya sedikit pun. Perbuatannya tidak menyebabkan larangan syarak. Ini seperti membina mimbar, benteng pertahanan, sekolah, rumah (singgahan) musafir dan sebagainya yang terdiri dari jenis-jenis kebaikan yang tidak ada pada zaman awal Islam. Ini kerana ia bertepatan dengan apa yang dibawa oleh syariat yang memerintahkan membuat yang ma’ruf, tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa.[31] Seperti yang telah dinyatakan sebelum ini, apa yang disebut di atas tidak sepatutnya dinamakan bid‘ah sama sekali. Bahkan ia termasuk dalam perkara-perkara yang disuruh dalam agama. Namun persoalan yang lebih penting adalah, apakah al-Imam al-Sayuti rahimahullah akan menganggap sesetengah perbuatan yang dianggap Bid‘ah Hasanah pada hari ini sebagai satu Bid‘ah Hasanah? Untuk memastikan hal ini marilah kita lihat beberapa contoh: Pertama: Sebagaimana al-Imam al-Nawawi dan lain-lain tokoh, al-Imam al-Sayuti turut menolak solat sunat Raghaib. Beliau berkata:[32] • Ketahuilah olehmu, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya membesarkan hari tersebut dan malamnya (hari dan malam Jumaat pertama bulan Rejab) hanya perkara baru yang dibuat dalam Islam selepas 400 tahun. Diriwayatkan mengenainya hadith yang palsu dengan sepakat ulama yang mengandungi kelebihan berpuasa pada siangnya dan bersolat pada malamnya. Mereka menamakan solat Raghaib … Ketahuilah sesungguhnya solat yang bid‘ah ini menyanggahi kaedah-kaedah Islam dalam beberapa bentuk. Perhatikan bahawa al-Imam al-Sayuti rahimahullah tidak menamakan solat ini sebagai Bid‘ah Hasanah sekalipun ia disebut dalam beberapa kitab seperti Ihya ‘Ulum al-Din. Jika setiap yang dianggap baik dilabelkan sebagai Bid‘ah Hasanahmaka solat ini juga patut dianggap Bid‘ah Hasanah. Namun mengada-adakan perkara baru dalam cara ibadah bukanlahBid‘ah Hasanah. <="" p="" style="line-height: 24px; font-family: Verdana; "> Kedua: Berkata al-Imam al-Sayuti rahimahullah ketika membantah amalan Nisfu Sya’ban:[33] • Apa yang memuliakan bulan Sya’ban ialah amalan Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada kebanyakan harinya. Hadith-hadith Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan athar para sahabat yang diriwayatkan menunjukkan ia malam yang ada kelebihan, (namun) tiada padanya solat yang khusus. Jelas bahawa solat sunat khusus bersempena Nisfu Sya’ban tidak dianggap oleh al-Imam al-Sayuti sebagai Bid‘ah Hasanah. Ketiga: Berkata al-Imam al-Sayuti rahimahullah berkenaan melafazkan niat sebelum solat:[34] • … Daripada bid‘ah (yang saiyyah) itu adalah, was-was dalam niat solat. Itu bukan daripada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat baginda. Mereka tidak pernah melafaz sedikit pun niat solat melainkan hanya (terus) takbir. Allah telah berfirman: • لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ • “Sesungguhnya bagi kamu pada Rasulullah itu contoh yang baik.” [al-Ahzab 33:21] Walaupun sesetengah pihak ada yang berpendapat menyebut lafaz niat dalam solat sebagai Bid‘ah Hasanah, namun tokoh mazhab al-Syafi’i yang terkenal ini tidak menganggapnya sedemikian. Ini kerana ia adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallammahupun para sahabat baginda. Kesimpulan Perbincangan Perbincangan kita di atas secara jelas menunjukkan telah berlaku salah faham di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan para penceramah dan agamawan, terhadap istilahBid‘ah Hasanah yang digunakan oleh para tokoh mazhab al-Syafi’i rahimahumullah. Apa yang dimaksudkan oleh para tokoh tersebut adalah jauh berbeza. Oleh itu adalah wajar untuk merujuk semula kepada apa yang ditulis oleh tokoh-tokoh ini. BAB 3: SALAH FAHAM TERHADAP UCAPAN ‘UMAR AL-KHATTAB DAN HADITH SUNNAH HASANAH. ________________________________________ [1] Diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Tirmizi, berkata al-Tirmizi: “Hadis ini hasan sahih”. Juga diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Darimi dalam kitab Sunanmereka. Demikian juga oleh Ibn Hibban dalam Shahihnya dan al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan menyatakan: “Hadith ini sahih”. Ini dipersetujui oleh al-Imam al-Zahabi (Tahqiq al-Mustadrak, jld. 1, m.s. 288). [2] al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 35. [3] Beliau ialah Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas al-Qurasyi. Lahir di Ghazzah, Palestin pada tahun 150H. Kata al-Imam Ahmad bin Hanbal: “Sesungguhnya Allah melimpahkan untuk manusia pada setiap permulaan seratus tahun orang yang mengajar mereka sunnah dan menafikan pembohongan terhadap Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam. Kami dapati pada seratus pertama ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz dan pada seratus kedua al-Syafi'i.” (al-Sayuti, Tabaqat al-Huffaz, jld. 1, m.s. 157) [4] Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (جامع العلوم والحكم), jld. 2, m.s. 52. [5] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, jld. 15, m.s. 179. [6] al-Syafi'i, Mausu‘at al-Imam al-Syafi'i: al-Umm (موسوعة الإمام الشافعي), jld. 1, m.s. 353. [7] Maksud al-Imam al-Syafi'i ialah apa yang beliau tulis dalam al-Umm tersebut dalam bab Kalam al-Imam wa Julusihi Ba’d al-Salam (كلام الإمام وجلوسه بعد السلام) yang mana beliau telah mengemukakan beberapa hadith yang menunjukkan baginda tidak menguatkan suara ketika zikir selepas solat. [8] Tahlil maksudnya ialah ucapan: لا إله إلا الله. [9] Maksud al-Imam al-Syafi'i ialah hadith riwayat Umm Salamah yang beliau sebutkan pada awal bab berkenaan: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سلم من صلاته قام النساء حين يقضي تسليمه ومكث النبي صلى الله عليه وسلم في مكانه يسيرا قال ابن شهاب فنرى مكثه ذلك والله أعلم لكي ينفذ النساء قبل أن يدركهن من انصرف من القوم Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila memberi salam dari solat maka kaum wanita akan bangun apabila baginda selesai memberi salam. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pula duduk sekejap ditempatnya selepas solat. Kata Ibn Syihab: Kami berpendapat – Allah lebih mengetahui – tujuannya agar kaum wanita dapat pergi sebelum kaum lelaki keluar. Hadith ini turut diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, al-Nasai, Abu Daud, Ibn Majah dan lain-lain. [10] Maksudnya, apakah contoh perkara yang pernah baginda lakukan hanya seketika kemudian setelah orang ramai mempelajarinya baginda tinggalkan. al-Imam al-Syafi'i menyebut contoh ini untuk menyokong pendapat beliau bahawa zikir selepas solat secara kuat hanya dilakukan oleh baginda pada seketika sahaja, kemudian zikir baginda berzikir secara perlahan. [11] Oleh itu perlu dibetulkan salah faham sesetengah pihak yang mendakwa sesiapa yang tidak berzikir secara kuat selepas solat ialah orang-orang yang tidak mengikut Mazhab al-Syafi’i. Ternyata bahawa dakwaan mereka adalah salah, bahkan menunjukkan pihak yang mendakwa itu tidak meneliti kitab al-Imam al-Syafi'i. [12] Beliau lahir pada 577H atau 578H, bermazhab al-Syafi'i. Seorang tokoh ulama yang masyhur, pernah menjadi khatib masjid Damsyik dan pernah memegang jawatan ketua hakim Mesir. (Abu Taiyyib, Zail al-Taqyid, jld. 2, m.s. 128). [13] ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam, Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, jld. 2, m.s. 133. [14] Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, jld. 2, m.s. 133. [15] Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, jld. 2, m.s. 133. [16] al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 27-28. (nukilan berpisah) [17] al-I’tishom, m.s. 145-146. [18] al-Imam al-Nawawi ialah seorang tokoh besar mazhab al-Syafi’i. Namanya Yahya bin Syaraf, lahir pada 631H. Menulis pelbagai karangan yang bermanfaat. Antara yang lazim dijadikan buku pengajian di majlis-majlis tempatan ialahHadis 40 Imam Nawawi dan Riyadus Salihin. (al-Sayuti, Tabaqat al-Huffaz, jld. 1, m.s. 513) [19] al-Nawawi, Tahzib al-Asma` wa al-Lughat, jld. 3, m.s. 21. [20] al-Nawawi, al-Azkar, m.s. 225-226. (nukilan berpisah) [21]<="" span="">. Namun ia lebih dikenali dengan nama ringkas: شرح صحيح مسلم. [22] al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jld. 1, m.s. 115. [23] Maksudnya hadith dalam Shahih Muslim yang tidak menyebut penambahan itu. [24] Rujuk Shahih Muslim – hadith no: 1144 (Kitab Puasa, Bab tegahan berpuasa hanya pada hari Jumaat). [25] al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jld. 3, m.s. 211. [26] Iaitu solat yang dilakukan pada malam Jumaat pertama bulan Rejab. Sedih sekali amalan dan hadith palsu ini digalakkan dan disebut di dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din. al-Hafizd Zain al-Din al-‘Iraqi rahimahullah (806H) ketika mentakhrij kitabal-Ihya telah memberitahu kepalsuan hadith ini. (Ihya ‘Ulum al-Din bersama takhrijal-Hafizd al-‘Iraqi, jld. 1, m.s. 268). Semoga Allah mengampuni kita dan al-Imam al-Ghazali rahimahullah (505H). Kita bersangka baik kepadanya dengan menganggap beliau tidak mengetahui hadith ini palsu. Ini kerana beliau bukan ahli dalam bidang hadith seperti yang dinyatakan oleh tokoh-tokoh hadith yang lain. [27] Nukilan berpisah daripada buku ‘Ali Hasan ‘Ali, Kitab al-Ihya ‘Ulum al-Din fi al-Mizan, m.s. 21. [28] al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, jld. 5, m.s. 320. [29] Antaranya Ibn Naqib dalam Anwar al-Masalik (أنوار المسالك) menyebut: “Apa yang dilakukan oleh keluarga si mati dengan menyediakan makanan dan menghimpunkan manusia kepadanya (makanan) adalah bid‘ah”. (m.s. 182). [30] Beliau imam yang masyhur, ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Misri. Bermazhab al-Syafi'i. Lahir pada 849H. Membesar di Kaherah. Pakar dalam berbagai ilmu. Pada umurnya 40 tahun, beliau mengasingkan diri dan menulis berbagai karya. (‘Umar Kahalah (كحالة), Mu’jam al-Muallifin (معجم المؤلفين), jld. 2, m.s. 82). [31] al-Sayuti, al-Amr bi al-Ittiba’ wa al-Nahy ‘an al-Ibtida’, m.s. 25. [32] al-Amr bi al-Ittiba’ wa al-Nahy ‘an al-Ibtida’, m.s. 52 & 54 (nukilan berpisah) [33] al-Amr bi al-Ittiba’ wa al-Nahy ‘an al-Ibtida’, m.s. 57. [34] al-Amr bi al-Ittiba’ wa al-Nahy ‘an al-Ibtida’, m.s. 100.